Nasehat Syaikh 'Ala Mustafa Na’imah menyambut Hari Raya
Idul Adha 1440 H.
Disampaikan saat beliau ceramah Ba’da Shalat Jum'at, 9
Agustus 2019 M.
![]() |
Silaturrahmi Perwakilan PPMI Mesir kepada Syekh Ala Musthafa Na'imah di Alexandria, Jum'at 9 Agustus 2019 M. |
Amma Ba'du,
Telah difirmankan Allah dalam Qur'an-Nya, melalui lisan
Sayyidina Ibrahim ‘Alaihissalam:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ
ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا
لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ
وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
[Surat Ibrahim 37]
Maka sungguh benar adanya apa yang disampaikan al-Qur'an, bahwa
hati akan selalu cenderung dengan hal-hal yang berkaitan dengan Tanah Suci
Mekkah. Rindu dengan Ka'bah, dengan Hijr Isma'il, Hajar Aswad, dengan
thawaf sekitar Ka'bah, dengan sa'yi antara Shafa dan Marwah, dengan
minum air zam-zam, dengan mabit di Mina dan Muzdalifah. Maka, semoga Allah
memberkahi kita untuk dapat mengunjungi tanah haram dan memberkahi kita untuk
dapat mengunjungi makam Baginda Rasulullah Saw. Allahumma Aamiin.
Maka wajarlah jikalau ada yang telah menyelesaikan haji
namun hatinya terasa ingin kembali. Bahkan ada dari kita yang duduk bersama
keluarga dan berada di sekitar orang yang dicintainya namun hatinya terasa
rindu ingin mengunjungi Tanah Haram, ingin melaksanakan haji. Maka, jikalau
kita yang belum bisa berangkat haji atau berkunjung ke tanah suci dengan
membawa jasad dan tubuh kita, maka ingatlah kita bisa menjadi hujjaj
dengan hati dan ruh.
Bagaimana hal itu bisa terjadi dan apa makna dari haji
dengan hati dan ruh?
Allah menciptakan kita dengan berbagai macam unsur zat.
Dia menciptakan kita sebagai jasad. Juga memberkahi kita dengan menciptakan
akal. Juga memberkahi kita dengan menciptakan hati. Juga Allah memberkahi kita
dengan menciptakan ruh. Manusia dengan hati dan ruhnya, Allah ciptakan rasa
rindu.
Jikalau kita bayangkan, alangkah indahnya bila seorang muslim
walaupun duduk bersama keluarganya dan teman-temannya tapi hatinya merindukan
thawaf, merindukan meminum air zam zam, merindukan mencium hajar aswad dan lain
sebagainya. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama mengingat bagaimana
hajinya Baginda Rasulullah dan apa yang telah beliau ajarkan, walaupun
membayangkan tanpa segi hukum fiqhiyyah, namun mengingat tentang rukun
haji dan apa yang dialami para hujjaj, sehingga walaupun kita berada di
negara kita, kita seakan berada bersama-sama mereka dalam melaksanakan haji.
Pertama kali yang dilaksanakan para hujjaj ialah
mengganti pakaian yang berjahit dengan pakaian ihram, maka kita semua bisa
melakukan rukun ihram ini walaupun berada di negara kita masing-masing.
Bagaimana caranya? Apakah dengan cara memakai pakaian
ihram, kemudian duduk berkhayal dan merenung?
Tidak, bukan seperti itu! Allah Swt memerintahkan kita
dalam mengganti pakaian berjahit dengan pakaian ihram, bukan sekedar ritual secara
zahir saja. Tujuan sebenarnya ialah pergantian keadaan batin. Sebagaimana Allah
memerintahkan kita mengganti pakaian berjahit dengan pakaian ihram, maka begitu
pula Allah memerintahkan untuk mengganti keadaan hati. Dari hati yang lalai dan
mudah berbuat dosa, menuju hati yang dekat dan selalu mengingat Allah
Swt.
Diriwayatkan bahwa Anas bin Malik RA, saat melaksanakan
haji, beliau sama sekali tidak berbicara guna menjauhi hal-hal duniawi. Oleh
karena itu, jikalau rukun pertama haji ialah ihram, yaitu mengganti pakaian
berjahit dengan pakaian ihram, maka kita yang berada di luar tanah haram juga
bisa melaksanakan haji walau berada di negara kita masing-masing, dengan haji
hati dan ruh. Dengan mengganti keadaan hati yang masih lalai akan perintah Nya,
menuju hati yang selalu mengingat Nya. Dari hati yang sibuk dengan hal-hal
duniawi, menuju hati yang juga memikirkan hal-hal ukhrawi.
Ada satu kisah, tentang salah satu Ulama dan Waliyullah,
Buhaim bin Ijili, yang digelari sebagai al-bakka’ (yang paling banyak
menangis). Penyebab ia sering menangis, karena sudut pandang beliau yang
berbeda dengan manusia lainnya. Karena yang ada di sudut pandangnya adalah
selalu menghadirkan Allah di segala perkara. Bahkan para muslim di zaman itu,
jikalau melihat Buhaim berada di kelompok mereka, maka yang terbesit di pikiran
ialah bakal banyak yang menangis. Karena keberadaan Buhaim pasti akan membuat
orang di sekitarnya ikut menangis. Maka dimana tangisan kita? Sudah berada di
posisi manakah kita? Sehingga membuat kita tidak menghadirkan Allah dalam
kehidupan kita. Sedangkan seorang ulama yang sudah mengerjakan banyak amal
shalih masih banyak menangis ketika menghadirkan Allah dalam kehidupannya.
Alkisah ketika para kafilah bersiap-siap pergi untuk
melakukan perjalanan dan berdiri dari tempatnya, maka mulailah Buhaim menangis.
Warga sekitar bertanya, “Ada apa denganmu wahai Imam? Kita belum bergerak sedikitpun
dari tempat kita, belum berdo’a do’a safar, belum melakukan apa-apa; Apa
penyebabmu menangis wahai Imam?”
Ketika Syaikh Buhaim sadar, ia menjawab, “Ketika aku
melihat para kafilah dan kendaraan-kendaraan berdiri, maka aku langsung
teringat hari dimana akan dibangkitkan manusia untuk menghadap tuhan semesta.”
Kejadian ketika itu, hanya ada unta-unta berdiri dan para
kafilah siap-siap berangkat. Namun yang dilihat Sayyiduna Buhaim bukan hanya
apa yang ada di depannya, namun melihatnya dengan penglihatan hati. Tidak
melihat dengan ‘ainul bashar, tapi melihatnya dengan ‘ainul bashirah.
Beginilah ketika kita menghadirkan Allah dalam penglihatan. Maka, jikalau kita
ingin melaksanakan haji namun belum mampu ke tanah haram, cukuplah kita
melaksanakan haji dengan hati dan ruh. Salah satunya dengan mengganti keadaan
hati kita yang lalai menuju hati yang ingat kepada Allah Swt. seperti tujuan
yang sebenarnya rukun haji yang pertama,
Sayyiduna Rasulullah Saw. setelah mengganti pakaian dengan
ihram, beliau tersenyum sambil berkata, “Wahai yang ingin mengikuti para hujjaj,
maka baginya untuk melaksanakan haji secara hati dan ruhani”.
Rasulullah setelah ihram menggunakan minyak rambut dan
wangi-wangian, maka bagi kita yang ingin melaksanakan haji hati, maka bagi kita
untuk mencontohkannya, dengan cara keluar masjid untuk shalat ied nantinya
dengan memakai minyak rambut dan wangi-wangian sebagaimana yang sudah dilakukan
Rasulullah. Bahkan Rasul setelah memakai minyak rambut dan wangi-wangian, wajah
beliau sangat bersinar seperti sinar matahari.
Setelah ihram dan menyiapkan diri, langkah setelah itu adalah
pergi menuju Mesjidil Haram dan akan melihat Ka’bah. Pelajaran yang bisa
diambil ialah, bahwa ka’bah hanya batu, namun karena ia batu yang dipilih Allah
untuk menjadi sesuatu agung. Maka, mengapa kita tidak meminta agar Allah
memilih atau menentukan hati kita untuk terus mengingat Nya, untuk terus
mendekat kepada Allah. Sebagaimana Allah memilih batu tersebut menjadi tempat
yang agung, juga Rasulullah yang dipilih Allah menjadikan sebaik-baik manusia.
Ada satu lagi kisah menarik, salah satu sebaik-baik
kisah, yaitu tentang seorang ulama salaf, Hatim bin Asham Rahimahullah.
Suatu ketika beliau sangat ingin untuk berangkat haji. Namun memiliki kendala,
yaitu memiliki 3 anak putri yang sudah ditinggal wafat ibu mereka. Maka ketika
punya niat demikian, beliau mengumpulkan putri-putrinya untuk menanyakan
pendapat mereka akan niatnya tersebut. Maka sang putri pertama melarang ayahnya
karena takut tidak ada yang mengurus mereka. Pun berkata demikian putri yang
kedua.
Namun yang luar biasa ialah sang putri terkecil, bahkan
masih sangat kecil, berkata pada ayahnya, “Apa yang membuat ayah ingin pergi
haji?”. Sang ayah menjawab, “Demi keridhaan Allah ta’ala.” Maka sang putri terkecil
langsung membalas, “Jikalau memang itu niatmu, maka pergilah ayahku. Karena selama
engkau mencari keridhaan Nya, maka Allah tidak mungkin menelantarkan kita”. Maka,
sang ayah karena keinginannya yang sangat kuat dan mendapat izin dari salah
satu putrinya, beliau pun berangkat haji. Maka lihatlah bagaimana keyakinan
anak kecil tersebut, keyakinan kepada Allah yang sangat kuat. Menghadirkan Allah
dalam kehidupannya.
Setelah beberapa hari kepergian ayah mereka untuk
berhaji, secara tiba-tiba ada seorang pemimpin kaum yang berjalan melewati
rumah Hatim bin Asham dan merasa sangat haus ketika itu. Pemimpin tersebut
langsung mampir ke rumah Hatim dan mencari air disana. Akhirnya sang pemimpin
mendapatkan tiga anak kecil, dan langsung bertanya, “Dimana ayah, ibu atau
kerabat kalian?”
Si anak menjawab, “Ayah musafir, ibu telah wafat dan
kerabat sudah tidak ada”. Maka sang pemimpin langsung memberikan sedikit
hartanya, sambil berkata kepada pengikut-pengikutnya, “Barangsiapa yang mematuhiku,
maka ikutilah perbuatanku!”
Akhirnya rumah ulama kita ini dipenuhi dengan harta yang
berlimpah dan bisa menjadi harta seumur hidup. Sang anak terkecil pun menangis
sambil berkata kepada kakak-kakaknya, “Pemimpin itu baru melihat kita sekali,
namun langsung membuat kita kaya seumur hidup. Bagaimana jikalau Allah langsung
yang melihat kita?”
Begitulah jikalau hati sudah mampu menghadirkan Allah
dalam kehidupan kita, maka dimana kita dari mereka ?
Pesan selanjutnya, besok Hari Arafah, ia adalah
sebaik-baik hari. Hari dimana sebaik-baiknya matahari terbit. Dan sebaik-sebaik
do’a di siang hari ialah ketika Hari Arafah, terutama setelah ashar sampai
maghrib. Maka seperti yang disabdakan Rasulullah, “Barangsiapa yang berpuasa
pada hari ini, ia akan diampuni dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan
datang.”
Pada hari ini juga, hari ini disebut Yaumul Mubâhâ,
yaitu hari dimana Allah mengatakan kepada para malaikat, dengan berkata, “Lihatlah
hamba-hamba Ku! Aku bersaksi wahai malaikat-Ku. Bahwa Aku sudah melihat mereka,
karena hari ini adalah hari pengampunan, maka pengampunan ini menyeluruh kepada
muslim yang berpuasa pada hari ini”.
Wallahu a’lam bish shawab.
----
Terjemah oleh: Arief Mughni Salam.
Terjemah oleh: Arief Mughni Salam.
1 Comments
Yarhamuna Allah
ReplyDelete