Ppmimesir, Kairo- Tidak berselang lama dari euforia masisir menyambut
kesuksesan Dr. Ahmad Ikhwani Syamsuddin, M.A. menyelesaikan sidang disertasi
dengan hasil memuaskan pada 10 Juli 2019 M lalu, PPMI Mesir menggandeng PCINU
Mesir dan Kekeluargaan IKMAL Mesir menggelar Acara Bedah Disertasi Dr. Ahmad
Ikhwani pada Rabu 21 Agustus 2019 bertempat di Griya KSW Distrik 10th.
Acara istimewa ini bertujuan untuk me-review, mencuatkan kembali dan melihat lebih dalam masterpiece
karya ilmiah hasil jerih payah selama lima tahun Rais Syuriah PCINU Mesir asal
Lampung yang diberikan apresiasi tinggi oleh para profesor Universitas Al-Azhar
yang menjadi tim sidang.
![]() |
Ustadz Musa Al Azhar, Lc., Dipl. Pembedah I dalam acara Bedah Disertasi Dr. Ahmad Ikhwani, M.A. |
Untuk mempreteli
disertasi yang terdiri dua jilid tebal dengan total 1500 halaman itu, panitia
menghadirkan dua pembedah yang mumpuni pada bidangnya, yaitu Ustadz Musa
Al-Azhar, Lc., Dipl., yang membedah jilid 1 dan Ustadz Muhammad Taufiq, Lc.,
M.A. yang membedah jilid 2. Kedua pembedah berkonsentrasi menguji keakuratan metodologi
yang digunakan penulis disertasi dalam timbangan metodologi ilmiah. Pembedah pertama
fokus pada Qism metode penulis dalam melakukan Takhrij dan Dirasatul
Isnad. Sementara pembedah kedua pada Qism manhaj penulis melakukan Tahqiq.
Pada artikel
ini kita akan mulai dengan mengulas penilaian sistematis dari pembedah pertama.
Jika ada kesempatan akan kita lanjutkan pada penilaian pembedah kedua yang
tidak kalah menarik.
Sebelum
dipersilahkan untuk mulai berbicara, moderator yang mengatur jalannya diskusi Ustadz
Apipudin Samsudin, Lc memperkenalkan Ustadz Musa Al Azhar dengan membaca Curriculum Vitae singkat dan menyampaikan kepada hadirin bahwa kandidat magister jurusan Hadits
& Ilmu Hadits Universitas Al-Azhar itu merupakan murid kesayangan Dr. Samih
Abdullah Abdul Qawi salah satu dosen hebat di Qism Hadits Wa 'Ulumih. "Dr. Samih berkali-kali memuji kegigihan Ustadz Musa dalam membaca." Misalnya pada salah
satu majelis syarah Kitab al-Nukat Ibnu Hajar di Madhyafah Syekh Ismail Shadiq,
Dr. Samih memuji pria kelahiran Kudus 7 Juli 1989, "Syekh Musa ini adalah tholib mujtahid, terbukti ketika saya
meminta dia untuk membaca kitab al-Talkhīsh al-Habīr karya Imam Ibnu Hajar yang terdiri dari lima jilid, dia
benar membaca kitab itu sampai habis." Ungkap moderator mahasiswa yang menduduki bangku tamhidi II Jurusan Hadits Universitas al-Azhar itu.
Ustadz
Musa mengawali kesempatan berbicaranya dengan menyampaikan bahwa mihwar pembicaraan akan terfokus
mengilmiahkan pujian tinggi yang disematkan Prof. Dr. Ahmad Ma'bad Abdul Karim
terhadap Dr. Ikhwani dan buah karyanya. Sebab, pujian-pujian yang dilayangkan
seseorang kepada saudaranya tidak menutup kemungkinan hanyalah basa-basi,
terutama dengan kita mengetahui bagaimana budaya mujamalah yang merakyat di kalangan
masyarakat Mesir.
"Tetapi
kita percaya, pujian ini bukanlah mujamalah. Seorang pakar hadits kritis
(naqid) yang menguasai kaidah al-Jarh wa al-Ta’dil sekelas Syekh
Ahmad Ma'bad yang terbukti melalui salah satu karya terbaiknya yang berjudul: Alfâzh al-Jarh wa al-Ta'dîl. Yang mana
di dalam kitab ini, beliau sangat detail membedakan perpautan makna dari setiap
lafazh yang dipilih para ulama jarh wa ta’dil ketika mengomentari seorang rawi.
Maka dengan satu pujian saja dari seseorang yang “yu’taddu bi qaulihi” seperti
beliau, akan kalah dengan pujian orang-orang sembarangan walaupun kita duduk di
sini sampai subuh memuji Dr. Ikhwani."
Pada sidang
itu Profesor Ahmad Ma'bad menilai sebagai seorang penuntut ilmu hadits "Mutakamil"(yang
paripurna dan ideal). Memangnya, bagaimanakah sosok intelektual hadits
yang ideal?
Imam
Abu Syamah al-Maqdisi menyebutkan bahwa ada tiga derajat yang mesti ditempuh
untuk mengokohkan bangunan keilmuan hadits pada diri seorang muhaddits 1) Derajat
tertinggi adalah menghafal matan-matan hadits, mengetahui makna gharib-nya
dan fiqhul hadits. 2) Menghafal sanad-sanadnya, mengenal para perawi dan
bisa membedakan mana yang shahih dan dha’if. 3) Mengumpulkannya, menuliskannya,
mendengarkannya dan mencari sanad tinggi dengan mengadakan rihlah kepada ulama
pemiliki sanad 'âlî." Imam Abu Syamah menutup: "Maka siapapun
yang menyibukkan diri dengan tiga hal ini, maka dia telah menyibukkan diri
dengan hal paling prioritas setelah ibadah.”
Tradisi
muhadditsin menghafal matan, menggelar majelis pembacaan riwayat, mengkaji
sanad dan mensyarah seperti ini terus dilestarikan dari dahulu hingga sekarang.
Contoh terdekat guru kita Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim yang mensyarah Shahih al-Bukhari
terbaru dengan kitabnya Faidh al-Bari. Prof. Dr. Ahmad Ma’bad selama 17 tahun di
Arab Saudi tidak hanya mengajar, tetapi juga di sana membangun madrasah hadis untuk menghidupkan kembali tradisi para muhadditsun nuqqad.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam al-Nukat-nya terhadap Kitab Muqaddimah Ibnu Shalah ketika
mengutip pernyataan Imam Abu Syamah di atas, memberikan tanggapan persoalan tentang
mana yang paling prioritas: apakah mengkaji sanad ataukah mengkaji matan? Menurut
Al-Hafizh Ibnu Hajar, kedua derajat sama pentingnya. Bahkan bisa jadi, mengkaji sanad diutamakan "Liannahû al-Mirqah ila al-Awwal" (sebab kajian sanad adalah tangga naik menuju kajian
matan) ungkap beliau.
Prof.
Dr. Ali Jum’ah dalam Kitabnya Târîkh Ushûl Fiqh, di sana menyebut ada
lima nazhariyah yang perlu diperhatikan oleh seorang mujtahid dalam
mengistinbath hukum. Dari kelima nazhariyat itu, Syekh Ali Jum'ah mengedepankan
urutan nazhariyyah al-Tsubût (kajian verifikasi) daripada nazhariyyah
al-Dalâlah. Artinya ketika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu nash
hadits, sebelum mengkaji dalalah nash tersebut, pertanyaan yang harus
diselesaikan sebelumnya adalah: “Benarkah nash ini adalah hadits Rasulullah SAW?”,
“Mana saja yang termasuk hadis agar kita kumpulkan. Dan mana yang bukan hadits
agar kita sisihkan.”
Maka
langkah inilah yang ditempuh Dr. Ahmad Ikhwani dalam menulis disertasi, studi
verifikasi setiap teks-teks hadits yang ditulis Syekh al-Zaurqani dalam
syarhnya terhadap kitab al-Mawahib al-Ladunniyah dan menganotasikannya dengan
memberikan komentar pada catatan kaki.
Ustadz
Musa menangkap setidaknya ada lima keutamaan yang layak diacungi jempol dan
patut dicontohi dari Dr. Ikhwani dalam menulis karyanya sehingga layak
mendapatkan pujian mahal Profesor Ahmad Ma'bad sebagai intelektual hadits yang mutakamil:
1) Banyak mengetahui referensi dan membaca dari berbagai sumber. 2) Luwes
melihat perbedaan-perbedaan pendapat. 3) Kuat analisa dan metodologi. 4) Kesesuaian teori
dengan data lapangan (al-Waqi’ al-‘Amali). 5) Keluhuran Adab.
Untuk
membuktikan itu, pembedah mendatangkan beberapa sampel. Pertama pada metode Dr. Ikhwani memilih penghukuman pada
suatu hadits, sudah sesuaikah sebagaimana metode yang diatur oleh para muhadditsun
nuqqad?
Mari
kita lihat salah satu sampelnya!
Imam
al-Zurqani dalam syarhnya mencantumkan hadits yang berbunyi:
إن اللَّهَ عز وجل اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Untuk memberikan
penghukuman pada hadis tersebut, ada tiga langkah yang mesti ditempuh: men-takhrijnya,
melakukan dirasatul isnad dengan segala kerumitan dalam
proseduralnya, barulah dapat melakukan al-hukmu ‘ala al-hadits.
Hadits yang dicantumkan Imam
al-Zurqani ini adalah versi riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah RA, yang mana dalam
mata rantai sanadnya terdapat Ashim bin Bahdalah Abi Najud yang disifatkan
oleh ulama jarh wa ta'dil dengan "Shadûq Lahû Awhâm."
Dengan
demikian, maka peneliti yang hendak menghukumi hadits ini dihadapkan pada polemik
di kalangan muhadditsuh soal apakah Shadûq itu mengantarkan
suatu hadits menjadi Hasan ataukah Dhaif? Di sinilah dibutuhkan
dari peneliti kapasitas dalam mentarjih.
Setelah menimbang
pendapat-pendapat yang ada, peneliti di sini menyatakan sikapnya dengan men-tarjih hadits tersebut dihukumi Hasan. Tetapi setelah usut-usut dari takhrij dan
ditemukan syahid-nya pada Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari riwayat Ali bin Abi Thalib RA,
maka dalam catatan kakinya, Dr. Ikhwani menghukumkannya dengan Shahih Li
Ghairihi. Pembedah mendatangkan takhrij
yang juga dilakukan oleh Prof. Ahmad Ma'bad pada hadits tersebut yang mana sesuai
dengan hasil Dr. Ikhwani. Para hadirin pun tepuk tangan.
Untuk diketahui pula, bahwa
Ashim bin Abi Najud kendati sifatnya Shaduq tetapi disebutkan juga dalam Shahîhain. Lha
ko bisa? Bukankah seluruh hadits di Shahîhain
semuanya shahih, sedangkan riwayat Ashim karena sifatnya Shaduq maka
mentok-mentoknya jadi hasan. Jawabannya, bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim tidak
mencantumkan riwayat Ashim bin Abi Najud kecuali dengan maqrun (didampingi
oleh perawi lain yang mengambil dari satu guru yang sama).
Sebagai
contoh lain, Abdullah Ibnu Lahi'ah, seorang perawi yang majruh disebabkan
karena mengalami kepikunan parah (ikhtilath) disebabkan tragedi terbakarnya
kitab-kitab beliau. Tetapi mengapa sebagian riwayatnya kita temukan dihukumi
shahih? Pembedah mendatangkan contoh riwayat Ibnu Lahi'ah tentang hukum
menyela-nyela air wudhu pada jari-jari kaki yang diterima sebagai hujjah oleh
Imam Malik.
Salah
satu apologi dari riwayat Ibnu Lahi'ah yang bisa diterima dan shahih menurut
sebagian ulama adalah marwiyat-nya yang ditransmisikan melalui Al-'Ubâdalah. Para Abdullah,
yaitu: Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Yazid al-Muqri, Abdullah bin Mubarak dan
Abdullah bin Yazid al-Qo'nabi.
Sampel
selanjutnya adalah ketika Dr. Ikhwani mengomentari penghukuman hadits pada
Musnad Imam Ahmad yang berbunyi:
حدثنا عفان، حدثنا أبو عوانة عن سماك، عن عكرمة، عن ابن عباس قال: ماتت شاة لسودة بنت زمعة، فقالت: يا رسول الله، ماتت فلانة، يعنى الشاة، فقال: «فلولا أخذتم مسكها... الحديثَ.
Di dalam
sanad hadits di atas terdapat nama Simak yang meriwayatkan dari Ikrimah.
Imam al-Nawawi menghukumi hadits tersebut dengan mengatakan: "Shahih
'ala Syarthi Muslim"
Di
sini Dr. Ikhwani menulis komentar di catatan kaki dengan mengatakan: "La'allahu
sabqu qolam." (Bisa jadi terjadi kesalahan tulis oleh Imam al-Nawawi).
Sebab, setelah diteliti ulang secara al-Waqi' al-'Amali. Karena untuk
mengetahui syarat-syarat yang dipatok oleh para Imam Mushannifun -dalam
hal ini Imam Muslim- bisa diketahui melalui statemen eksplisit sang imam bersangkutan atau
melalui praktek lapangan (min qaulihi wa shanî'ihi). Maka untuk mengetahui kesesuaian pernyataan Imam
al-Nawawi dengan kenyataan praktek Imam Muslim, peneliti dituntut untuk skeptis
dan melakukan penelitian ulang (al-Istiqra wa Sabr al-Thuruq). Dan
peneliti sampai pada kesimpulan bahwa Imam Mulim tidak pernah meriwayatkan dari
Simak.
Dari diskusi
ilmiah yang berlangsung antar ulama lintas generasi, dengan tradisi kritik-mengkritik
dengan keluhuran adab seperti contoh di atas, dikatakan oleh Prof. Dr. Mustofa Abu Imarah ketika mensyarah Kitab Tadrib al-Rawi di Masjid Al-Azhar:
"Sebagai bukti terus bergeraknya akal umat islam." Ini
sebagai bukti nyata bahwa bangunan keilmuan Ahlussunnah Wal Jama'ah berdiri di
atas landasan yang kokoh dan tidak gamang. Tidak semata setiap informasi
diterima oleh para ulama dari pendahulunya secara mentah-mentah tetapi terbuka
ruang untuk diadakan kajian dan pendalaman analisa.
Doakan
akan ada sambungan Part 2 (bagian Pembedah II Ustadz Muhammad Taufik, M.A) part
3 (tanggapan narasumber Dr. Ahmad Ikhwani).
(Rep:
Muhammad Zainuddin Ruslan)
1 Comments
Luar biasa. Semoga sukses selalu aamiin
ReplyDelete