![]() |
Lukman Hakim Rohim: salah satu pemantik diskusi dalam acara Bedah Buku Nahwa Ta'sis 'Ashr Diniy Jadid. |
“Wahai kebebasan, berapa banyak kekejaman yang dilakukan atas namamu! Wahai kebenaran dalam agama, berapa banyak pengkhianatan dan kepentingan pribadi yang berhasil dilakukan dengan perantara eksploitasi makna namamu!”—Osman al-Khasyt
Beberapa pekan lalu, dialog antara Grand Syekh al-Azhar, Prof. Dr.
Ahmad Thayyib dan rektor Universitas Kairo, Prof. Dr. Osman al-Khasyt
dalam konferensi Pembaharuan Islam yang diadakan al-Azhar menjadi topik
hangat yang dibicarakan di mana-mana. Saya melihat, cuplikan video
dialog tersebut banyak disebar dengan konten provokatif, disajikan
seolah-olah Grand Syekh sedang ‘membantai’ pemikiran Khasyt. Hal ini
tentu sarat untuk disalahpahami, sehingga sosok Khasyt akan dipandang
negatif dan sebelah mata. Hal ini digunakan oleh oknum-oknum yang
‘anti-liberalisme’ dengan mengatasnamakan al-Azhar untuk membungkam
kebenaran objektif dalam konferensi tersebut.
Wacana pembaharuan agama Khasyt dalam bukunya, Nahwa Ta’sîs ‘Ashr Dîn Jadîd sebenarnya bukan hal yang baru di dunia Islam kontemporer. Wacana tersebut senada dengan pembaharuan turats Islam (turats wa tajdid) yang
mengemuka sejak tahun 70-an bersamaan dengan peristiwa-peristiwa
sosial-politik besar umat Islam di belahan dunia. Dialog pemikiran
antara Grand Syekh al-Azhar dengan Khasyt bisa kita tempatkan sama
dengan dialog wacana antara Grand Syekh dengan Hasan Hanafi dalam
masing-masing buku al-Turâts wa al-Tajdîd.
Kita tidak perlu kaget dengan dialektika pemikiran antara keduanya yang
terkesan berseberangan. Justru karena persaingan intelektual itu,
gerakan untuk memajukan Islam semakin beragam dan kaya akan perspektif.
Merujuk pada al-Turâts wa al-Tajdîd,
karya Grand Syekh Ahmad Thayyib, corak madrasah epistemologis
pembaharuan Islam di dunia terbagi menjadi tiga; Maroko (Abid Jabiri),
Syiria (Husain Muruwwa) dan Mesir (Hasan Hanafi). Corak madrasah Mesir
sendiri, sebenarnya juga bisa dibagi menjadi tiga; tradisionalis,
liberalis dan revivalis—yang semuanya lahir dari rahim Muhammad Abduh.
Dari sini, bisa kita petakan bahwa al-Azhar dan Unversitas Kairo
melambangkan dua corak gerakan Islam; tradisionalis-moderat dan
liberal-progresif. Maka dengan ini, kita bisa melihat identitas Khasyt
secara jelas dari latar belakangnya. Ia tak jauh berbeda ideologi dengan
Hasan Hanafi, tokoh yang populer dengan proyek Kiri Islam dan cukup
menonjol dengan puluhan karyanya.
![]() |
Wakil Presiden PPMI Mesir Nasrudin Babas Hasan menyampaikan kata sambutan |
Skeptisisme dan Pembaharuan Muslim sebagai Titik Tolak Keberislaman yang Baru (Era Baru Agama)
Krisis kejumudan berpikir, taklid, terorisme dan radikalisme menurut
Khasyt merupakan faktor yang menghambat kemajuan Islam. Krisis tersebut
lahir di tengah-tengah jurang yang memisah antara Islam dan Muslim,
yakni saat umat Islam memahami turats yang bersifat imanen (basyari) setara
dengan al-Quran yang transenden, mengkultuskannya. Itu yang ia maksud
sebagai jurang yang memisah Islam dan pemeluknya; jurang bernama turats
dan ‘akal eksklusif’ para mukalidnya. Maka, salah satu pilar dari “Era
Baru Agama” adalah kembali kepada sumber asli Islam; al-Quran dan
as-Sunnah dengan menekan arus dogmatisme turats yang telah mencokol
dalam watak dan nalar umat Islam semasa sekian tahun. Ia berkata, “Ini semua bukan untuk menghidupkan (ihyâ’) ilmu-ilmu agama, akan tetapi mengembangkannya (tathwîr).”
Berangkat dari kegelisahan tersebut, dalam bukunya, Osman Khasyt
menjelaskan bahwa pembangunan era baru agama bisa dilalui dengan dua
proses; dekonstruktif (tafkîk) dan rekonstruktif (ta’sîs). Dalam
proses dekonstruktif, ia menawarkan metode skeptisisme untuk merangsang
nalar rasional umat Islam sebagaimana yang dilakukan Descartes dalam
membangun rasionalisme Eropa. Skeptisisme menurut Khasyt adalah
sunnatullah yang ada di dalam al-Quran dan telah dipraktikkan Nabi
Ibrahim AS dalam melawan tradisi paganisme. Nabi Ibrahim telah menantang
tradisi (turats) paganisme para leluhurnya dengan nalar kritis
dan metode keragu-raguan. Descartes pun mengalami kondisi yang sama, ia
juga hidup di zaman dimana eropa masih di bawah kungkungan gereja
(zaman kegelapan). Lalu keduanya—Nabi Ibrahim dan Descartes—sama sama
menolak taklid dan melahirkan era baru bagi masing-masing Timur dan
Barat. Skeptisisme adalah syarat untuk era baru Islam. Skeptisisme bisa
membuat umat Islam ‘melek’ atas apa yang terjadi di dalam
agamanya berupa taklid dan monopoli kebenaran bagi satu kelompok.
Seorang muslim bisa beragama secara waras setelah ia ‘ragu’ atas
tradisinya dan bisa membedakan antara yang suci dan imanen. Lalu ia akan
keluar dengan keyakinan pribadinya yang matang.
Pada poin rekonstruksi, Khasyt menawarkan pembaharuan muslim dari
‘akal eksklusif’. Pertama-tama umat Islam harus bisa membedakan antara
‘Islam’ dan ‘muslim’, antara yang statis (at-tsawabit) dan yang dinamis (al-mutaghayyirat), yang suci (al-Quran) dan imanen (turats).
Fenomena pengultusan turats dan penyamaannya dengan al-Quran itu
terjadi atas kealpaan terhadap hal ini. Hal semacam ini akhirnya
melahirkan sikap-sikap dogmatis; taklid, fanatik, bahkan radikal. Term
Islam harus dibersihkan lagi dari definisi-definisi yang telah
mengotorinya. Jalan yang bisa dilalui adalah dengan mengubah cara
pandang dunia (world view) umat Islam itu sendiri. Ia berkata, “Pembaharuan seorang muslim bisa dimulai terlebih dahulu dengan mengubah world view dalam imajinasi mereka. Karena cara pandang tersebut merupakan dasar yang menggerakkan segala aktivitas berpikir seseorang. Di dalam cara pandang tersebut kemudian diatur laku dan pola-pola interaksi dirinya dengan alam.”
Selain cara pandang terhadap dunia, pemahaman atau tafsir atas agama
juga perlu direkonstruksi sesuai dengan konteks dan zaman saat ini.
Tafsir atas agama harus dikembalikan ke sumber-sumber yang asli. Pada
saat yang sama, pemahaman agama juga perlu dimurnikan dari ‘kuasa
pengetahuan’ turats yang—menurut Khasyt—semakin menjauhkan agama dari
kemurniannya. Lebih-lebih, pemahaman agama yang telah dieksploitasi
kepentingan politik dan sosial.
Setelah melalui proses analisis bahasa terhadap agama, baik dari
tradisi Islam maupun Barat sebagai perbandingan, Khasyt menyimpulkan
makna agama yang lebih relevan, yaitu “Agama—seperti yang harusnya
terjadi— adalah proses kenaikan taraf manusia dari taraf indrawi dan
insting (yaitu taraf yang juga dimiliki hewan) menuju taraf berpikir.
Berpikir dalam bentuk apa? Berpikir dengan nalar yang sistematis dalam
memperoleh dalil (al-istidlâl).”
Era Baru Agama
Wacana Khasyt dalam membangun era baru agama, menurut saya merupakan
reaksi terhadap berbagai fenomena dan problematika dalam agama dan Islam
khususnya yang terjadi akhir-akhir ini. Problem ‘akal eksklusif’ dalam
kesimpulan Khasyt terjadi ketika seorang muslim mendewakan turats.
Konsekuensinya adalah beragama secara tidak waras karena dibangun atas
fanatisme semata. Secara tidak langsung, kritik Khasyt mengarah pada
lembaga-lembaga pendidikan tradisionalis yang sangat memegang erat
turats sebagai tradisi. Ia melihat tradisi ‘matan-syarah-hasyiyah’ sebagai bentuk kejumudan yang lahir dari fanatisme terhadap turats, bukan sebuah pembaharuan.
Sehingga, produk-produk yang dilahirkan dari tradisi tersebut tidak
bisa diajak berpikir kritis. Khasyt juga sadar betul bahwa fenomena yang
ia jadikan sebagai latar belakang dan krisis dalam dunia Islam sudah
menjadi tradisi. Itu dilakukan oleh mayoritas umat Islam.
Dari pemaparan singkat tadi, Khasyt menawarkan wacana ‘era baru
agama’ yang pada kesimpulannya mengajak umat Islam untuk beragama secara
waras, rasional dan merdeka dari belenggu apapun. Kalau saya
perhatikan, definisi Khasyt terhadap agama di atas merupakan counter
terhadap pemikiran Auguste Comte yang menempatkan agama pada taraf
manusia primitif dan irasional. Khasyt membaca dari sudut pandang
filsafat agama, bahwa cara untuk menyelamatkan Islam dari nalar
eksklusif para pemeluknya adalah dengan mengembalikan dan memurnikannya
lagi pada sumber-sumber asli Islam. Dari situ agama Islam bisa dibaca
dan ditafsirkan secara rasional dan kritis.
Ada beberapa catatan saya terhadap wacana Khasyt. Pertama, Khasyt
hadir dengan pembacaan filsafat agama. Hal itu dikuatkan dari latar
pendidikannya selama belajar di Universitas Kairo. Desertasi Khasyt
berjudul al-Madkhal ilâ Falsafat al-Dîn. Maka, tulisan-tulisan dan pemikirannya bercorak religius (khalfiyyât al-îmân) sekaligus rasional-kritis (‘aqliyyah–naqdiyyah) dalam membaca apapun, khususnya dalam buku Nahwa Ta’sis ‘Ashr Dîniy Jadîd. Setelah
mengetahui latar belakang ini, kesan anti-turats tak bisa dihindari
saat saya membacanya. Terlihat bahwa menurut Khasyt turatslah yang
bertanggung jawab atas krisis ‘akal eksklusif’ yang menjangkiti umat
Islam. Sehingga dari situ Khasyt mengajak kita untuk memurnikan kembali
Islam kepada sumber-sumber aslinya.
Untuk keluar dari belenggu ini, Khasyt menawarkan metode skeptisisme
Descartes dengan kesaksian bahwa metode tersebut bersifat Qurani dan
dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Dari sini, saya melihat, Khasyt telah
menafikan perkembangan rasional dalam turats Islam itu sendiri.
Seolah-olah dalam turats Islam tidak terdapat perangkat metodologis yang
rasional dan mampu melahirkan ‘akal rasional’ di dalam pribadi seorang
muslim. Pada bagian ini saya rasa wacana tersebut cacat, dan ahistoris
pada perkembangan turats Islam itu sendiri.
Kedua, wacana ‘era baru agama’ termasuk pembacaan yang segar
terhadap keberislaman kita hari ini. Semangat Khasyt untuk kembali
kepada al-Quran dan Sunnah, saya kira untuk menyaingi kubu-kubu kaum
puritan yang sangat jelas menjadi sasaran kritik Khasyt yang ia namai sulthân al-kahanût. Mereka
lah yang selama ini memonopoli kebenaran mutlak atas tafsiran agama dan
melahirkan sikap-sikap ekstrem pemeluknya. Khasyt ingin membawa umat
Islam untuk beragama secara waras, rasional, bebas dan merdeka dari
belenggu-belenggu neo-mitologi agama. Bukan beragama secara simbolik,
fanatik dan kebutaan semata.
Maka saya tutup essai ini dengan kalimat Khasyt yang menggebu-gebu, “Islam
di masa-masa primordial telah terbukti berhasil dalam mengubah realitas
dan sejarah, akan tetapi Islam dimana kita hidup sekarang telah keluar
dari sejarah dan terpisah dari fakta kemajuan. Oleh sebab itu, kita sangat butuh untuk kembali kepada ‘Islam yang terlupakan’ bukan ‘Islam palsu’ di masa kita hidup sekarang.”
Artikel ini ditulis dalam rangka bedah buku Membangun Era Agama Baru karya Osman Khasyt pada Kamis, 13 Februari di KMNTB.
Kontributor: Lukman Hakim Rohim
0 Comments