![]() |
M. Faiz Ubaidillah Koordinator Mizan Study Club saat menjadi pemantik dalam acara Badah Buku Nahwa Ta'siss Ashr Diniy Jadid |
Dialog hangat yang sempat terjadi antara Grand Syekh
al-Azhar Ahmad Thayyib dengan Rektor Universitas Kairo, Muhammad Osman
al-Khasyt (28/01) telah banyak menggiring kesadaran publik untuk
berpikir, merenung dan bertanya. Sebenarnya watak pembaharuan seperti
apa yang sedang dinanti oleh dunia Islam saat ini? Dimana letak
perbedaan wacana yang ditawarkan oleh al-Khasyt maupun al-Azhar?
Mungkinkah ruh pembaharuan yang diploklamirkan al-Azhar dapat didamaikan
dengan pembaharuan ala Khasyt ini?
Sampai saat ini, fenomena pembaharuan seperti ini masih menjadi
problem-wacana yang perlu kita jawab dan kritisi secara proporsional.
Sebab, sering kali sebuah fenomena menjadi buram dan terkubur oleh
narasi diskursif, pengalaman serta realitas manusia yang saling
berkepentingan. Oleh karena itu, usaha untuk melepaskan berbagai macam
atribut dalam “peristiwa pembacaan” menurut saya merupakan pilihan yang
tepat untuk membaca dan mendekati sebuah objek kesadaran secara lebih
arif dan bijak.
Islam dan Tantangan Modernitas; Dualisme antara Islam Identitas dan Berkemajuan
Pergeseran pola serta laku keberagamaan sosial menjadi alasan primordial bagi wacana pembaharuan yang dinarasikan oleh para pemegang otoritas kekuasaan—agama. Ia telah, sedang dan akan selalu menjadi topik penting yang harus dikedepankan, mengingat hiruk-pikuk problematika sosial, politik, budaya yang terus berkembang dan membutuhkan respon yang bisa meruang dan mewaktu.
Pergeseran pola serta laku keberagamaan sosial menjadi alasan primordial bagi wacana pembaharuan yang dinarasikan oleh para pemegang otoritas kekuasaan—agama. Ia telah, sedang dan akan selalu menjadi topik penting yang harus dikedepankan, mengingat hiruk-pikuk problematika sosial, politik, budaya yang terus berkembang dan membutuhkan respon yang bisa meruang dan mewaktu.
Sebagaimana yang ditulis oleh Ahmad Thayyib di dalam bukunya,
al-Turâst wa al-Tajdîd, pembaharuan menjadi topik yang santer untuk
dibicarakan di beberapa dekade terakhir. Telah banyak ulama, pemikir
bahkan budayawan yang berbondong-bondong menyumbangkan ide serta gagasan
pembaharuannya di dalam berbagai kesempatan. Meskipun sayangnya, hal
ini tidak berbarengan dengan kesiapan standar metodologi yang harus
dikuasai oleh beberapa oknum yang mendaku sebagai seorang yang membawa
ide-ide pembaharuan, terutama ide-ide pembaharuan yang datangnya dari
sang liyan.
Namun di sisi lain, ada semacam indikasi kepanikan dari sebagian
pemikir Islam terhadap suatu metodologi baru yang sifatnya asing. Upaya
untuk meneguhkan identitas dan membedakan diri dari sang liyan ini yang
kadang kala menyita objektifitas dan membuat umat Islam terjebak pada
wacana eksklusif dan keterbelakangan. Ketegangan antara dua poros ini
yang menurut penulis perlu didudukkan dalam suatu bingkai keberagamaan
dialektika keilmuan. Meskipun hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah,
karena masing-masing dari mazhab meyakini bahwa paham yang ia bawa
adalah paham yang paling benar, atau—meminjam istilah Khasyt—paham yang
mengklaim bahwa ialah sang pemegang otoritas “kebenaran absolut”.
Perbedaan tradisi juga menjadi faktor utama dalam keterbentukan sikap
ilmiah. Di Barat, manusia intelek terbiasa dan masif dengan adat kritik
bahkan kritik atas kritik. Kemenangan rasionalisme terhadap dogma
gereja dapat dirasakan pengaruhnya hingga saat ini. Berbeda dengan
Islam-Arab, saya tidak ingin mengatakan bahwa umat Islam tidak memiliki
tradisi kritik, tapi hegemoni nalar teologis-transmitif serta euforia
kejayaan masa lalu, diakui ataupun tidak, ia sedikit banyak mempengaruhi
psikologis umat Islam di dalam menghadapi wacana “liyaning liyan”. Pada
akhirnya, wacana penerimaan standar metodologi baru pun masih menjadi
barang semu dan buram.
Hamdi Zaqzuq dan Dekonstruksi ala Khasyt
Di dalam buku al-Azhar wa al-Tajdîd, Hamdi Zaqzuq menulis sebuah esai yang mungkin dapat kita jadikan sebagai sebuah acuan analisis komparatif singkat antara sikap al-Azhar dan Khasyt. Ia tegas mengatakan bahwa sebagai makhluk sosial manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari struktur masa lalu, baik dari segi tradisi maupun sejarahnya (turast peradaban dan keagamaan). Perlu digarisbawahi bahwa dari segi dimensi relatif, setiap generasi memiliki potensi untuk mampu belajar lebih baik dan melampaui para pendahulunya (tajâwuz al-turâst).
Di dalam buku al-Azhar wa al-Tajdîd, Hamdi Zaqzuq menulis sebuah esai yang mungkin dapat kita jadikan sebagai sebuah acuan analisis komparatif singkat antara sikap al-Azhar dan Khasyt. Ia tegas mengatakan bahwa sebagai makhluk sosial manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari struktur masa lalu, baik dari segi tradisi maupun sejarahnya (turast peradaban dan keagamaan). Perlu digarisbawahi bahwa dari segi dimensi relatif, setiap generasi memiliki potensi untuk mampu belajar lebih baik dan melampaui para pendahulunya (tajâwuz al-turâst).
Hubungan antara umat Islam dengan sejarahnya (turast) tentunya juga
berbeda dengan hubungan non-muslim terhadap turast yang dimiliki.
Masing-masing dari mereka memiliki perbedaan signifikan di dalam ranah
ontologis, epistimologis hingga aksiologis. Namun, tidak bisa dipungkiri
bahwa di dalam perjalanan sejarah, sering kali terjadi semacam
“perkawinan epistemologis” yang pada ujungnya melahirkan sebuah produk
episteme yang baru. Mengingat sejarah belum akan menjadi sebuah “sistem
tertutup” selama ia masih berproses, mengonstruksi dan saling
bertali-temali antara dirinya dan realitas. Sebagaimana dialog peradaban
Islam terhadap peradaban Yunani yang kemudian melahirkan beraneka macam
tipologi wacana serta diskursus keilmuan.
Begitu pula dengan upaya Khasyt di dalam usahanya merekonsiliasi
metodologi Barat sebagai pisau analisa pembaharuan untuk membedah dan
mengoperasi penyakit eksklusifitas serta klaim tunggal kebenaran yang
menjangkiti sebagian pola pikir umat Islam. Di dalam bukunya, Nahwa
Ta’sîs ‘Ashr Dîniy Jadîd ia mencoba menarasikan sebuah pola tajdid yang
sedikit berbeda dengan tradisi pembaharuan al-Azhar. Ia menggunakan
beberapa metodologi Barat; mulai dari teori skeptisisme Descartes hingga
dekonstruksi yang ia harapkan mampu untuk memberikan sebuah ramuan
mujarab dari Barat untuk Islam.
Dari sini, saya menangkap adanya semacam keterbukaan metodologi serta
ketenangan sikap terhadap “liyaning-liyan”, ia tidak anti metode asing
bahkan ia mengadopsinya sebagai kaca mata untuk membaca realitas sosial
yang terjadi di dunia Arab, khususnya Mesir. Ia mencari benang merah
antara teks agama dengan perkembangan wacana keilmuan di Barat. Meskipun
di dalam buku setebal 246 halaman itu ada semacam indikasi cacat
metodologis serta upaya-upaya yang berkonotasi ahistoris dan diskontinu
terhadap sejarah panjang yang telah berjalan di dalam peradaban
Timur-Islam.
Ia ingin mengonstruksi, bukan merekonstruksi rumah wacana (khitab).
Ia ingin mengembangkan, bukan menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ia ingin
membangun semacam era baru atau lebih jelasnya sebuah proto-turast baru
dimana Islam awal dijadikan sebagai nilai universal yang dapat melampaui
dimensi ruang maupun waktu yang berbeda-beda. Konsekuensi logisnya,
Islam mesti menjelma menjadi tradisi-tradisi baru di setiap eranya.
Bagi seseorang yang memiliki sejarah peradaban yang panjang, ungkapan
Khasyt ini—meminjam istilah Ahmad Thayyib—sangat bertendensi sikap
penyia-nyiaan (ihmâl wa tark). Ada semacam upaya pemotongan rantai
sejarah yang telah berjalan dan membentuk peradaban Islam selama
berabad-abad (al-tasykîl al-hadlâri). Ia ingin mendekonstruksi nalar
taklid-jumud, namun di sisi lain, sikap ini berpotensi menjadikannya
kehilangan beberapa fragmen berharga dalam sejarah yang telah ikut
bertali-temali membangun struktur peradaban Islam hingga saat ini.
Ditambah lagi, metodologi yang ia gunakan juga masih terkesan
abu-abu. Ia ingin menggunakan dekonstruksi (tafkîkî) sebagai alat baca
realitas umat Islam yang telah terhegemoni oleh wacana sakralitas produk
pemikiran. Ia ingin mendekonstruksi dokrin neo-jahiliahisme puritan.
Namun, sampai saat ini, hanya diksi cacat yang bisa saya haturkan kepada
Khasyt dan segelintir pemikir Islam lainnya yang sempat melontarkan
kritikan yang berbunyi dekonstruksi hanya akan berujung pada ketiadaan
(nihilism) dan ketidakhadiran seorang subjek di dalam teks.
Bagi para pengkaji strukturalisme hingga post-strukturalisme, pasti
akan sedikit kecewa dengan kesimpulan ini. Dekonstruksi Derrida tidak
bertujuan untuk menghilangkan makna, ia hanya menginginkan relativitas
makna membela bahasa lain dari dalam diri teks. Dekonstruksi ingin
mengoyak oposisi-oposisi biner dan kecenderungan makna absolut yang
menghantui serta tersubordinasi ke dalam otoritas pengarang.
Jadi, dekonstruksi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah aliran
relativistik daripada nihilistik. Ia tidak bermodus absensi atau
bertendensi membunuh subjek—dalam artian lugu—, ia hanya ingin bermain
dalam parodi kehadiran dan ketidakhadiran yang ada dalam setiap
butiran-butiran teks filosofis maupun antropologis. Sebab, jika kematian
subjek dianggap sebagai modus ketidakhadiran, maka ia telah melemparkan
dirinya sendiri pada momen ketiadaan. Narasi semacam ini sangat
bertentangan dengan prinsip Derrida yang ingin melampaui hierarki
oposisi biner itu sendiri. Jadi, kematian subjek dapat dimaknai sebagai
suatu penundaan terhadap totalitas makna logos yang berhasrat akan pusat
yang stabil daripada tendensi akan ketiadaan.
Persimpangan Dua Dimensi; Tradisi dan Realitas
Islam sebagai peradaban yang menyejarah dan ada di dalam sejarah memberikan warisan sekaligus semangat akan perwujudan sejarah baru. Tidak membenarkan sikap sakralitas, taklid buta dan monopoli kebenaran. Ia mengajarkan kita untuk bersikap inklusif dan saling menghargai perbedaan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa gejala-gejala yang telah saya sebutkan di atas telah menjadi watak keberagamaan sebagian dari kita dari dulu hingga sekarang.
Islam sebagai peradaban yang menyejarah dan ada di dalam sejarah memberikan warisan sekaligus semangat akan perwujudan sejarah baru. Tidak membenarkan sikap sakralitas, taklid buta dan monopoli kebenaran. Ia mengajarkan kita untuk bersikap inklusif dan saling menghargai perbedaan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa gejala-gejala yang telah saya sebutkan di atas telah menjadi watak keberagamaan sebagian dari kita dari dulu hingga sekarang.
Di sini Khasyt menegaskan bahwa terdapat perbedaan ontologis antara
dimensi absolut dengan dimensi sublunar-relatif manusia. Ia tidak akan
pernah bisa terlepas dari cara ia mengada dan melihat dunianya. Cara
beragama seseorang tidak akan pernah bisa sama, ia akan terus menjadi
dan tersituasikan ke dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Hanya
nilai-nilai universal serta beberapa prinsip dasar yang dapat bertahan
dan berwajah sama hingga akhir zaman.
Di sisi lain, krisis pembaharuan bukan berarti pelupaan. Ia lebih
sebagai sebuah usaha damai antara horizon kekinian manusia dengan
horizon pendahulunya. Upaya memihak terhadap salah satu hanya akan
memunculkan wacana-wacana bimbang. Al-Azhar sebagai mercusuar keilmuan
Islam memiliki beban amanah terhadap tradisi yang harus terus dijaga dan
dilestarikan. Namun di sisi lain, krisis pembaharuan menuntut para
pemikir kita untuk lebih bersikap terbuka dan bijaksana terhadap sesuatu
yang bersifat liyan. Mengambil pelajaran dari mereka tanpa harus
meninggalkan tradisi menghargai dan ikut mempelajari tanpa harus
menyetujui.
Dari situlah dialog peradaban dapat berjalan dengan baik dan lebih
produktif, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita
yang telah menyumbangkan baju kebesaran pada peradaban Islam. Mereka ada
dan hadir di dalam proses berjalannya sentuhan peradaban. Tak heran
jika Ibnu Rusyd di dalam kitabnya Fashl al-Maqâl mengatakan: “Upaya
berkenalan dengan sang ‘liyaning liyan’ merupakan suatu kewajiban di
dalam agama. Jika apa yang mereka katakan merupakan suatu kebenaran,
maka kita akan menerimanya, namun jika sebaliknya kita akan menolak dan
mengingatkan mereka”.
Artikel ini ditulis dalam rangka bedah buku Membangun Era Agama Baru karya Osman Khasyt pada Kamis, 13 Februari di KMNTB.
Kontributor: Faiz Ubaidillah
0 Comments